Site icon Masdoni

Merawat Bayi Prematur, Pantau Tumbuh Kembangnya

[ad_1]

Benazir Shahnaz Alqori lahir pada usia kehamilan 25 minggu, dengan bobot hanya 529 gr. Peluang Shahnaz untuk bertahan hanya 30:70. Orang tua manapun pasti bingung dan cemas menghadapi situasi seperti itu. Namun Desi Fatwa, ibunda Shahnaz, tak kenal kata menyerah. “Saya harus punya energi positif untuk disalurkan ke anak saya,” ujar Desi. Saat itu 14 tahun lalu, belum banyak yang berbagi pengalaman soal merawat bayi prematur di media sosial. “Jadi betul-betul mendengarkan saran dokter dan suster,” imbuh Desi.

Perjuangan Desi tidak sia-sia. Shahnaz yang kini duduk di kelas 9 SMP, memiliki segudang prestasi. Saat masih kecil, ia belajar balet selama delapan. Ia juga pernah mengikuti National Science and Mathematics Olympic. Pada 19 November lalu, Shahnaz mewakili sekolah untuk tampil di Manila Ochestra atas undangan Kedutaaan Besar Indonesia untuk Filipina.

Prematur Berbeda dengan BBLR

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 1 dari 10 anak terlahir prematur. Diperkirakan, ada 15 juta anak di seluruh dunia yang lahir prematur setiap tahun. Prematur berbeda dengan BBLR (berat bayi lahir rendah). Bayi disebut prematur bila lahir pada usia kandungan <37 minggu, sedangkan BBLR adalah bayi yang lahir dengan bobot <2.500 gr.

“Prematur berhubungan dengan kematangan organ. Kalau BBLR itu bicara tentang berat, tapi organ tubuh sudah matang; hanya saja bayinya kecil,” ungkap Prof. Dr. dr. Rinawati Rohsiswatmo, SpA(K) – Dokter Spesialis Anak Konsultan Neonatologi. Bayi prematur tentu saja memiliki berat lahir yang lebih rendah daripada bayi cukup bulan. Namun, tak jarang pula bayi cukup bulan yang lahir dengan bobot di bawah batas ideal (2.500 gr). Inilah yang disebut BBLR.

Baik bayi prematur maupun BBLR menghadapi tantangan yang lebih besar daripada bayi yang lahir cukup bulan dengan bobot normal.  “Semakin muda usia bayi saat lahir dan semakin kecil beratnya, akan makin banyak permasalahannya,” imbuh Prof. Rina, dalam diskusi memperingati Hari Prematur Sedunia yang diselenggarakan oleh Danone Specialized Nutrition Indonesia, Selasa (15/11/2022). Merawat bayi prematur sebaik-baiknya adalah upaya yang bisa dilakukan orang tua untuk mendukungnya tumbuh optimal, sehingga bisa berprestasi seperti anak lainnya kelak.

Merawat Bayi Prematur

Pemantauan tumbuh kembang menjadi hal yang sangat krusial dalam merawat bayi prematur. Pada dasarnya, semua anak perlu dipantau pertumbuhannya. “Terlebih bayi prematur, karena mereka memiliki segudang masalah yang lebih besar dibandingkan anak-anak yang lahir cukup bulan,” ujar Prof. Rina.

Orang tua tidak boleh acuh. “Jangan lega dan senang dulu karena bayi sudah pulang dari NICU. Perjalanannya masih panjang,” tegasnya. Berikut ini pemantauan yang harus dilakukan, sejak bayi berusia 2 minggu (ketika kondisinya mulai stabil), hingga ia tumbuh dewasa 18 tahun.

1. Pantau berat badan

Berat badan (BB) bayi harus betul-betul dipantau. “Kenaikan berat badan tidak boleh drastis. Kita lihat, saat lahir posisinya di mana dalam grafik,” ujar Prof. Rina. Bila semisal bayi lahir dengan BB di titik kuning, maka pertambahan bobotnya harus tetap dijaga di titik tersebut. “Pindah hanya boleh 1-2 garis. Kalau terlalu banyak, obesitas. Kalau stagnan atau melengkung ke bawah, kurang. Harus dipantau betul dengan grafik pertumbuhan. Kalau malas menggambar grafik, tinggal masukkan aplikasi,” tambahnya.

Prof. Rina melanjutkan, pertambahan BB bayi prematur tidak usah cepat-cepat. Kuncinya dinaikkan pelan-pelan agar tidak di bawah terus, sebelum usianya 7 bulan. “Kita tidak mau anak itu gemuk tapi penyakitan; nanti umur 20 sudah hipertensi, diabetes. Itu terlalu cepat naiknya. Tapi kita juga tidak mau dia stunting karena terlalu lama naiknya,” tutur Prof. Rina.

2. Pantau panjang badan dan lingkar kepala

Tak hanya BB, panjang/tinggi badan dan lingkar kepala pun harus selalu diukur dan diplot ke grafik pertumbuhan. Lingkar kepala menunjukkan laju pertumbuhan otak, dan panjang badan penting untuk mendeteksi stunting sejak dini. Dua tahun pertama (1000 Hari Pertama Kehidupan/HPK) adalah saat krusial dalam tumbuh kembang anak. “Pada periode ini, 83% otak sudah terbentuk. Jadi kalau sampai terbengkalai, ada risiko stunting,” ujar Prof. Rina.

Ada anggapan, otak bayi prematur lebih kecil dibandingkan anak yang lahir normal. Betulkah demikian? “Bayi yang lahir usia <37 minggu, pasti beratnya tidak sama dengan bayi cukup bulan. misalnya dia lahir di usia 25 minggu; di usia ini BB sekitar 600-800 gr. Otakya cuma 75 gr. Bayangkan kalau bayi cukup bulan dengan bobot 3.500 gr, otaknya sudah 375 gr,” jelas Prof. Rina.

Namun bukan berarti otak bayi prematur akan selamanya lebih kecil. Berat otak yang cuma 75 gr tadi bisa dikejar menjadi 375 gr. “Itulah tugas dokterPeran orang tua pun uar biasa besar. Yang pasti, tidak ada yang instan. Jangan minta vitamin macam-macam, semua harus diupayakan dengans ungguh-sungguh. Yang penting asupan nutrisi lengkap, terutama protein hewani seperti telur, ikan, dan lain-lain,” tandas Prof. Rina.

3. Pantau perkembangan

Merawat bayi prematur, perkembangannya pun harus dipantau, tak hanya fisik. “Misalnya usia 6 bulan belum angkat kepala, umur 4 tahun belum ngomong. Umur 9 bulan saja, kalau dipanggil, bayi akan menoleh, melihat mata kita, dan tersenyum. Itu kan ada interaksi,” tutur Prof. Rina.

Pemantauan harus terus dilakukan. Selepas usia 2 tahun, tumbuh kembang anak belum selesai. “Kita pantau kesehatan mental dan perilakunya, bagaimana kemampuan adaptasinya di sekolah. Kalau jeli kita akan menemukan sejak dini apakah anak tidak mau menatap, atau tidak mau ngomong,” tegasnya.

4. Pantau pubertas anak

Menjelang usia remaja, sekitar 10 tahun, biasanya hormon-hormon reproduksi mulai aktif. “Kadang hormon terlalu aktif, sehingga muncul gejala pubertas yang terlalu dini,” kata Prof. Rina. Orang tua harus mendampingi anak melewati masa pubernya, agar mereka paham tentang kehidupan yang sehat di masa remaja.

5. Pantau kesehatan

Hal ini juga tak boleh ketinggalan. Kesehatan anak harus selalu dipantau sejak ia bayi, hingga masuk usia dewasa. “Remaja usia belasan tahun masih bisa ke dokter anak. Anak masih tumbuh secara fisik, serta berkembang secara mental dan hormonnya, hingga selesai di usia 18 tahun,”

Prof. Rina menegaskan, pemantauan anak yang lahir dalam kondisi high risk harus terus dilanjutkan, tidak hanya berhenti sampai perawatan selesai atau sampai usia 2 tahun saja.. “Pemantauan anak-anak, termasuk anak risiko tinggi seperti anak yang lahir prematur harus dilakukan bahkan sampai dia memasuki usia dewasa agar berkembang menjadi SDM yang unggul,” ucap Prof. Rinawati antusias. Seiring anak makin besar, jarak pemantauan ke dokter bisa lebih jarang

Hal ini diamini oleh Desi Fatwa. Ia paham betul bahwa merawat bayi prematur hingga ia dewasa, adalah tugas yang sangat penting. “Kita melahirkan bayi prematur, pulang dari RS tugas kita belum selesai. Masih banyak. Sampai sekarang, Mata Shahnaz masih rutin dipriksa setahun sekali,” ujarnya. Ia sangat bersyukur, Shahnaz lahir dengan organ tubuh yang lengkap dan sempurna, meski ia lahir di usia 25 minggu dengan bobot hanya 529 gr. Nantikan kisah perjuangan Desi merawat Shahnaz, di artikel berikutnya. (nid)

_____________________________________________

Ilustrasi: Image by wirestock on Freepik

[ad_2]

Sumber

Exit mobile version