Site icon Masdoni

kulit kering pada lansia bisa tanda penyakit lain

Setidaknya ada dua masalah kulit yang kerap dialami lansia: kulit gatal (pruritus) dan kulit kering (xerosis). Kerap dianggap wajar terjadi pada lansia, padahal kulit kering pada lansia bisa manjadi tanda penyakit lain.

Kulit kering membuat tekstur kulit menjadi kasar dan pecah-pecah, sehingga mempermudah bakteri masuk ke dalam tubuh. Kulit kering juga bisa berujung menjadi pruritus.

Jika kulit gatal berlanjut lebih dari 6 minggu, maka berpotensi menjadi penyakit kronis lainnya. Pruritus bahkan bisa mengganggu kualitas hidup seseorang, seperti mengganggu tidur dan menyebabkan kecemasan hingga depresi.

Dr. Amelia Soebyanto, SpDV, dari Klinik Pramudia, Jakarta, menjelaskan, kulit kering dapat terjadi pada wanita maupun pria. Tetapi lansia memiliki risiko yang lebih tinggi.

“Kulit kering merupakan suatu keadaan di mana lapisan terluar kulit yang kurang lembap akibat penurunan kandungan air dan lemak di kulit. Kulit kering ini memiliki tekstur kulit yang kasar, bersisik, pecah- pecah dan dapat disertai dengan keluhan gatal,” katanya dalam virtual media briefing, 3 November lalu.

Penelitian di Perancis mendapati bahwa sekitar 56% pasien berusia >65 tahun mengalami kulit kering dan sekitar 9% menderita derajat sedang-berat. Insiden dan keparahan kulit kering meningkat sesuai dengan pertambahan usia. Penelitian Selma et al, menyatakan bila xerosis ini lebih banyak ditemukan pada wanita (59%) dengan usia rata-rata 70 tahun.

Menambah penjelasan tersebut, dr. Yustin Sumito, Sp.KK, mengemukakan, pada lansia ada 3 proses utama yang berhubungan dengan terjadinya kulit gatal.

“Pertama, hilangnya fungsi barrier (pelindung) kulit yang menyebabkan turunnya fungsi perbaikan kulit. Kedua, penurunan kerja sistem imun. Ketiga, neuropati atau gangguan sistem saraf, di mana pruritus cenderung lebih sering mengalami kekambuhan,” jelas dr. Yustin.

Terapi obat dan non-obat

Banyak masyarakat awam yang menyepelekan kulit kering dan menganggapnya hanya perlu dioleskan pelembap saja. Padahal, pemilihan pelembap yang tidak tepat pun bisa menimbulkan iritasi.

Dr. Amel menjelaskan tatalaksana kulit kering dibagi jadi dua yaitu medikamentosa (obat-obatan) dan non-medikamentosa. Dokter bisa memberikan obat minum untuk mengurangi gatal dan peradangan, antibiotik bila ditemukan adanya tanda-tanda infeksi, dan obat oles (pelembap) untuk membantu mengatasi kekeringan pada kulit.

Dokter juga mungkin untuk merujuk ke spesialis tertentu jika memiliki penyakit penyerta. “Penatalaksanaan secara non-medikamentosa tidak kalah pentingnya, di antaranya dengan memastikan asupan cairan yang cukup, mandi jangan terlalu lama dan terlalu sering, dengan air hangat suam kuku dan sabun yang lembut,” jelasnya.

Kulit yang sangat kering dapat menyebabkan retakan yang dalam, terbuka dan berdarah, memberikan jalan bagi bakteri untuk masuk dan menyerang tubuh. Maka itu, penggunaan obat-obatan yang dijual bebas malah berpotensi membuat keluhan semakin parah dan berisiko menimbulkan infeksi akibat keinginan untuk menggaruk.

Merendam kulit

Deteksi dini kulit kering dan gatal dilakukan melalui anamnesis (menanyakan riwayat pasien), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang secara menyeluruh, termasuk derajat keparahan gatal ada pada skala 1-10.

“Pertama yang dilakukan tentu dengan menjaga kelembapan kulit. Misalnya dengan metode soak-and-smear(rendam kulit selama 10-20 menit di dalam air) dan metode wet wraps (perban atau kain basah yang dibalut dengan krim tertentu),” terang dr. Yustin.

Ia mengingatkan, bahwa pengobatan kulit kering dan gatal yang benar tidak sesederhana memakai krim pelembap. Oleh sebab itu jika masih belum sembuh dan berlanjut dalam waktu yang terlalu lama, maka diperlukan konsultasi ke spesialis kulit.

Exit mobile version