[ad_1]
Menghadapi perilaku bully atau penindasan jelas bukan hal menyenangkan. Lalu bagaimana jika perlakuan seperti itu datang dari orang tua kepada anak? Yuk, simak cerita yang lagi viral tersebut di sini.
Ada Orang Tua Bully Anak?
Sepotong video pendek berbentuk Instagram reels mendadak ramai dibicarakan, dikomentari, bahkan dihujat karena memuat suatu pesan yang “unik”, yaitu orang tua bisa mencoba “mem-bully” anak agar ia tumbuh menjadi anak yang tahan bully. Video tersebut disampaikan oleh Amrit Gurbani, certified emotions coach, di akun Instagram @happykids_id.
Dalam pemaparan singkatnya, Amrit menceritakan bahwa telah mencoba cara unik tersebut kepada anaknya, Aesa, 4 tahun. Dan menurut pemaparannya, putranya tumbuh menjadi anak dengan emosi yang lebih stabil, serta memahami makna dari bercanda.
Agar lebih jelas, berikut transkrip reels yang viral tersebut:
“Ceritanya Aesa dari kecil sudah punya bully dalam hidupnya, yaitu saya, bapaknya. Lucu-lucuan ya, bukan menyakiti dia. Misalnya dia mau masuk mobil, pintunya kukunci, jadi dia buka-buka, ‘Papa! Papa!’
“Atau dia masuk kamar, aku lagi ngumpet di belakang pintu. Kagetin!”
“Terus kalau dia lagi bandel, atau dia lagi nangis, malah aku ejek-ejek, ‘Halah, cengeng!,” dengan segala lucu-lucuan.
Setiap kali dia ngambek, aku jelaskan ke dia, “Papa cuma bercanda. Papa main sama Aesa. Mau nggak main sama Papa?Kalau nggak mau main nggak papa, papa juga nggak mau main sama anak yang sensi.”
Lama-kelamaan dia mengerti apa itu iseng atau humor dalam batas-batas yang normal, yang wajar. Sehingga sekarang kalau dia ketemu orang baru, dia nggak malu dan malah dia bercanda. Dia bisa ngagetin orang, bisa lucu-lucuan. Kemungkinan kalau dia di-bully besok, dia akan membuat lelucon, membuat humor, sehingga [pelaku] bully itu tidak akan mendapat respons yang memuaskan.”
Menurutku, humor adalah senjata paling positif dan paling ampuh untuk menghadapi bully. Silakan dicoba dengan anak sendiri. Lihat perubahan dia. Tapi ingat, dalam batas-batas normal. Jangan ngisengin anak dengan cara yang tidak wajar. Nanti dia belajar itu, malah dia ngisengin orang berlebihan. Semoga membantu. Silakan di-sharing.”
Baca juga: 6 Cara Mencegah Bibir Kering dan Pecah-pecah pada Anak
Bagaimana, terkejut setelah melihat videonya atau membaca transkripnya di atas? Ya, tak heran Amrit beserta istrinya, dr. Dimple Nagrani, Sp.A, segera membuat klarifikasi kemarin (14/11) melalui Instagram Live. Inti dari klarifikasi yang disampaikan bahwa terjadi kesalahpahaman penonton terhadap video yang viral tersebut, karena sebenarnya pembahasan soal bully sudah ditayangkan sebagai rangkaian konten, yang perlu ditonton secara keseluruhan, bukan terpisah.
Amrit juga menyampaikan bahwa cara yang dipakai tersebut bertujuan untuk menyiapkan putranya menghadapi dunia, bukan untuk melindungi anak dari dunia. Dengan kata lain, ia menciptakan simulasi dunia nyata mulai dari lingkungan terdekat anak, sehingga jika nanti ia berada dalam kondisi bully, ia bisa menanggapinya dengan humor serta emosi yang lebih stabil.
Selain itu, Amrit menekankan bahwa metode yang ia bagikan tersebut bukanlah cara yang bisa diaplikasikan kepada semua anak, sehingga membutuhkan kebijaksanaan dari masing-masing orang tua sebelum mengaplikasikannya. Dalam pernyataan klarifikasi tersebut, Amrit beserta istri juga menekankan bahwa mereka sangat menentang segala bentuk perilaku bully, dan menyatakan dengan jelas bahwa bully bukanlah bahan bercanda.
Baca juga: Makna di Balik Momen Deddy Mahendra Desta Gendong Putrinya
Benarkah Bercanda Itu Baik?
Jika ibu adalah sosok penyayang sekaligus tegas, umumnya ayah berperan sebagai figur yang lebih santai dan suka bercanda kepada anak-anaknya. Namun perlu dipahami, bahwa humor tak hanya membuat tertawa, bisa pula salah tempat. Seorang psikolog klinis asal Amerika serikat, Dr. John Mayer, mengatakan bahwa tak semua bentuk humor yang terlihat sederhana atau lucu, dapat dipahami konteksnya secara utuh oleh anak, bahkan jika ia sudah berusia remaja.
Pasalnya, anak-anak dan remaja tidak memiliki kemampuan untuk berpikir secara abstrak. Ketika secara kognitif anak tidak dapat memahami lelucon orang tuanya tersebut, ada konsekuensi jangka panjang yang bisa terjadi, salah satunya membentuk anak menjadi pelaku bully.
Hal itu bisa terjadi karena anak terus-menerus mengawasi perilaku orang tuanya, kemudian meniru. Ketika seorang anak melihat orang tuanya sering menggunakan kata-kata tajam, sarkasme, dan ejekan, anak menginternalisasi gagasan bahwa perilaku semacam itu normal dan dapat diterima secara sosial oleh orang lain. Bukan tak mungkin, ia pun menjadi pelaku bully di antara teman-temannya ketika bersosialisasi. Aduh!
Kembali lagi, menjadi orang tua memang tak mudah. Orang tua dituntut terus belajar tiada henti, agar bisa membesarkan anak menjadi pribadi yang utuh dan berkualitas. Karena seperti orang bijak bilang, “Saat anak-anak tumbuh dewasa, mereka mungkin melupakan apa yang orang tua katakan, tetapi tidak akan lupa bagaimana perlakuan orang tuanya saat mereka kecil.” (IS)
Baca juga: Anak Prematur Bisa Tumbuh Sehat dan Cerdas, Ini Buktinya!
Referensi:
Fatherly. Teasing Kids
Psychology Today. Teasing Within Families
The Guardian. How to Bully Proof Your Kids
[ad_2]
Sumber