Korban Stroke Dengan Ptsd Condong Mematuhi Pengobatan

Diposting pada
Penderita stroke dengan Pasca-Traumatic Stress Disorder (PTSD) cenderung untuk mematuhi rejimen pengobatan yang meminimalkan risiko stroke komplemen, kata para peneliti.
Para peneliti menemukan bahwa 65 persen dari penderita stroke dengan PTSD gagal patuh kepada pengobatan,ketimbang 33 persen dari mereka yang tidak PTSD. Survei juga menyampaikan bahwa ketidakpatuhan pada pasien PTSD sebagian diterangkan oleh ambivalensi meningkat terhadap obat-obatan.

Di antara penderita stroke dengan PTSD, sekitar satu dari tiga (38 persen) memiliki kekalutan wacana mereka. Hasil penelitian, yang dipimpin oleh Columbia University Medical Center, Menurut data dari American Stroke Association, nyaris 795.000 orang Amerika setiap tahun menderita stroke gres atau berulang. Stroke adalah penyebab keempat kematian dan penyebab keganjilan teratas di Amerika Serikat. Korban stroke sering diresepkan resimen pengobatan, termasuk distributor antiplatelet, agen antihipertensi, dan statin,yang menolong meminimalkan risiko stroke selanjutnya. Penelitian sebelumnya sudah menunjukkan bahwa PTSD dipicu oleh insiden-yang mensugesti kesehatan 18 persen dari stroke yang selamat-mampu menghancurkan pemulihan.

“Sayangnya, penderita stroke terlalu banyak yang tidak sesuai dengan regimen, meskipun kita tahu bahwa kepatuhan pasca-stroke rejimen kesehatan yakni salah satu komponen yang paling penting untuk meminimalisir risiko stroke di masa depan,” kata Ian M. Kronish, MD , MPH, ajudan profesor Pusat obat untuk Kesehatan Jantung Perilaku dan salah satu penulis studi”.
“Bagi mereka dengan PTSD, studi ini memberikan bahwa kegalauan ihwal obat ialah hambatan yang signifikan terhadap kepatuhan pengobatan korban Stroke mesti dinilai untuk kekalutan wacana obat-obatan dan tanda-tanda PTSD., Sehingga intervensi dapat diperkenalkan sedini mungkin untuk mendapatkan pasien kembali ke jalur untuk menghindari peristiwa stroke di masa depan. “

Para peneliti meminta 535 penderita stroke wacana gejala PTSD, kepatuhan kepada obat, dan kepercayaan atau kekhawatiran ihwal obat-obatan. Peserta direkrut antara Maret 2010 dan Januari 2012 sebagai serpihan dari Kekambuhan Mount Sinai Medical School”  Mencegah Segala Strokes Inner City melalui Pendidikan uji klinis di Harlem dan Bronx.Peserta yang memenuhi syarat untuk sidang bila mereka setidaknya 40 tahun dan melaporkan riwayat serangan stroke atau transient ischemic (TIA) dalam 5 tahun sebelumnya (rata-rata 1,9 tahun sesudah stroke terbaru atau TIA).

Baca Juga:  Bisakah Menurunkan Berat Tubuh Dengan Herbal?

Dibandingkan dengan pasien stroke tanpa tanda-tanda PTSD, pasien dengan PTSD merasa ambivalensi lebih ke arah obat,cemas lebih banyak wacana imbas jangka panjang dari obat-obatan, dan mengeluh perihal cara pengobatan terganggu kehidupan mereka. Selanjutnya, PTSD dikaitkan dengan dogma agak berkembangdalam ancaman biasa dan terlalu sering memakai obat dalam sistem medis.
Penelitian sebelumnya dengan kohort yang sama sudah mendapatkan bahwa penderita stroke dengan tanda-tanda PTSD paling parah hampir tiga kali lebih mungkin seperti yang tanpa gejala PTSD untuk tidak patuh terhadap obat.

“Kami percaya bahwa temuan ini memperlihatkan bahwa penderita stroke dengan PTSD tidak melihat obat mereka bermanfaat, melainkan selaku pengingat stroke mereka, dan bahwa mereka menyingkir dari mereka selaku cara untuk menyingkir dari berpikir wacana stroke,” kata Donald Edmondson,PhD , ajudan profesor kedokteran (Pusat Kesehatan Kardiovaskular) dan penulis pertama. “Kita perlu melakukan observasi lebih lanjut untuk memilih apakah mengobati penderita stroke untuk PTSD akan merenggangkan kegundahan obat yang menimbulkan penghindaran, atau kalau intervensi komplemen harus dirancang untuk mengatasi kedua masalah.”
Makalah ini berjudul, “Kekhawatiran Tentang Obat Asosiasi Posttraumatic Stress Disorder Dengan Kepatuhan terhadap Pengobatan dalam Korban Stroke.” Para kontributor lainnya,dari Mount Sinai School of Medicine,yakni Carol R. Horowitz, Judith Z.Goldfinger, dan Kezhen Fei.Dr Edmondson didukung oleh hibah KM1
CA-156.709 dan HL-088.117 dari National Institutes of Health, Bethesda, Maryland. Dr Horowitz, Dr Goldfinger, dan Ms Fei mendapat bantuan dari Institut Kesehatan Nasional Hak dan Disparitas Kesehatan (P60MD00270), dan Dr Horowitz menerima dana dari Pusat Nasional untuk Penelitian Sumber Daya (UL1RR029887). Dr Kronish mendapat
bantuan dari Institut Jantung, Paru dan Darah Nasional (K23 HL098359). Para penulis menyatakan tidak ada pertentangan keuangan atau kepentingan.

Baca Juga:  Kenapa Organ Intim Wanita Mempunyai Warna Lebih Gelap Ketimbang Bagiantubuh Yang Lain?

Sumber medindia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *